Senin, 16 Februari 2015



“CINTA TANPA KATA”
By: Shinta Fury Afrilia

***

Terkadang, cinta itu tak perlu kata-kata.
Tak perlu.

***

            Hidup dengan dililit peraturan, terkadang membuat sulit untuk bergerak. Meskipun sebenarnya, hal itu adalah untuk kebaikan semuanya. Tapi tahulah, gimana anak sekarang? Semakin dikekang, semakin pandai mereka mencari celah untuk melanggar kekangan. Semakin dikekang, semakin berontak. Semakin dikekang, sekali waktu dilepas, akan liar bak kuda berang.
            Tak terkecuali dengan hidupku sekarang.
            Hidup dalam sebuah asrama dengan bejibun peraturan. Sebenarnya, kalau mau dipikir dengan sungguh-sungguh, peraturan itu tidak terlalu berat. Hanya saja, jika dipikir dengan pemandangan seluas permukaan gelas, semuanya jelas terasa berat.
           
            Kusebarkan pandanganku ke seluruh penjuru kamar. Gelap, sunyi, tanpa suara. Hanya terdengan deru kipas angin di langit-langit, detak jam di dinding, dan suara nyanyian kodok di luar sana, pertanda mereka sedang bahagia karena sore hari telah menurunkan bertetes-tetes mutiara langit dengan begitu derasnya.
            Ufffhtt…
Kuhembuskan nafas panjang. Jam menunjukkan pukul 23.30 WIB, namun mataku tak kunjung redup juga. Sedikitpun tak ada rasa kantuk yang menyerang. Padahal esok masih ada hari lagi yang harus dilalui.
Pikiranku menerawang jauh melewati atap ruangan. Tampak sebuah wajah sedang menatapku dengan tajam. Sorot mata tanpa ekspresi, tanpa senyum, tanpa berkata.
Sebuah wajah yang mampu menyita sebagian besar pemikiranku. Sebuah wajah yang mampu menyita sebagian besar waktuku. Entah, angin apa yang mampu membuatku terus terbayang oleh bayangnya. Padahal, jujur saja, aku sama sekali tak mengenalnya. Sama sekali tak pernah mengenalnya. Tahu saja tidak selama ini. Yang kuketahui hanyalah, dia cukup terkenal di kalangan asrama putri. Tapi sedikitpun, aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Tapi, begitu kulihat ia pertama kali tempo hari, sesuatu menggelitik jiwaku.
Aku berusaha untuk bersikap biasa, dan itulah yang terjadi adanya. Memang, untuk beberapa hari di awal-awal, tak ada sesuatu yang special yang terjadi, namun kelamaan, mata itu─sepasang mata itu─terus mengawasiku. Entah aku yang terlalu ke-GR-an, atau memang faktanya seperti itu. Yang jelas, itulah yang kurasakan ketika sepasang mata itu jatuh ke arahku.
Tiba-tiba penglihatanku menangkap sebuah gambaran di angkasa. Beribu-ribu planet dan bintang melayang di udara malam yang dingin. Berkedip-kedip manja ke arahku. Sesekon kemudian, sebuah tangan menepuk bahuku. Sontak aku menoleh ke arah belakang. Betapa terkejutnya aku ketika kudapati sebuah sosok yang sedari tadi mengganggu pikiranku, sedang berdiri tegak di hadapanku sekarang.
Kali ini ia tersenyum. Sangat berbeda dengan eksperesi yang selama ini kudapati di wajahnya. Namun dengan tanpa berkata, ia langsung melangkah mundur, dan pergi, dengan sebuah senyum tergaris di bibirnya.

Silau begitu terasa ketika neon-neon di seluruh penjuru kamar kembali menyala. Mataku berkedip malas, sembari melihat jam yang menempel di dinding. Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 pagi.

Euhmbfh …
Semuanya hanya mimpi. Penonton kecewa.
Kukira, aku benar-benar bertemu dengannya semalam.
Padahal semuanya terasa begitu real. Dia, di hadapanku.
Andai saja hal itu bukanlah mimpi … -,-

***

Setelah berjam-jam dikurung di ruangan ber-AC dan berkutat dengan komputer, akhirnya kami kembali disambut oleh udara luar. Terasa kurang begitu enak di badan. Ah, rasanya aku ingin tidur saja, melepas penat, agar kegiatan selanjutnya dapat kulalui dengan kembali fresh.
            Aku berjalan lunglai menuju asrama. Dengan mendekap sebuah business file dan sebuah buku catatan setebal 200 lembar. Pandanganku mulai kabur karena rasa kantuk yang menyerang secara tiba-tiba. Dan tanpa kusadari, ternyata seseorang sedang berlalu di hadapanku. Berjalan dengan begitu terburu-buru, hingga secara tak sengaja, tabrakan itu terjadi.
            BRAKK !!
            Segala yang ada dalam dekapanku terjatuh seketika. Otomatis, aku merunduk dan segera membereskan semuanya, tanpa mempedulikan siapa yang sedang berdiri di hadapanku. Maklum, di tempat ini, antara laki-laki dan perempuan dibatasi dalam pergaulannya. Jadi, jika dilihat dari busana yang dikenakannya, jelas ia bukan perempuan.
            “Maaf,” ujarnya.
            Aku masih tetap merundukkan pandanganku. “Nggak apa-apa. Bukan salahnya kamu juga, kok. Permisi.”
            Setelah beberapa langkah kaki kujlankan, kusempatkan untuk menoleh ke belakang sejenak. Ingin mengetahui, kira-kira dengan siapa aku bicara.
            Betapa jantungku langsung berontak ketika kutahu sosok itu.
            Zhafran. Zhafran Dwi Zarkashiy.
            Ya, itu dia. Sosok yang selalu hadir dalam setiap mimpiku. Sosok yang selalu hadir dalam anganku. Sosok yang selalu hadir dalam pikiranku.
            Ia hanya memandangku dari kejauhan. Kembali tanpa mengeluarkan ekspresi sedikitpun.
            Aku segera berbalik dan kembali meneruskan langkahku menuju asrama dengan detak jantung yang hampir seperti bom hendak meledak.
            Sudah Zhafira . batinku. Cukup, jangan lagi memandangnya. Hal ini bisa saja membunuhmu suatu saat nanti.
            Salah satu peraturan yang berada di asrama ini adalah ; Dilarang Pacaran.
            Ya, awalnya memang kurasa peraturan seperti itu sangat mudah sekali untukku, karena memang tak ada yang bisa menarik perhatianku semenjak pertama kali OSPEK terjadi. Jadi kurasa, hal ini takkan pernah berefek apapun dalam hidupku.
            Namun bagaimana jika seiring waktu berlalu, sesuatu hadir dalam kalbu dan membuatku merasa simpatik? Atau malah, yang lebih parah, jatuh cinta?
                        Segala hal yang ada dalam asrama, hidup dalam kerumunan para manusia dari berbagai daerah, dengan berbagai karakter, dan dengan berbagai pemikiran yang berbeda, jelas sekali membuat kesalahpahaman sering terjadi.
            Jatuh cinta bukan berarti ingin pacaran, kan?
           
            Lagipula, di tempat ini, tak mungkin bagi kami untuk bicara dari hati ke hati. Tapi, memangnya siapa aku? Berani-beraninya mengajaknya bicara dari hati ke hati seperti itu? -,-

            “Kenapa, Zhaf?”
            Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dari belakangku. Sontak aku terkejut karenanya.
Ah, rupanya aku terlalu sibuk dengan lamunanku. Aku terlalu sibuk dengan apa yang sedang ada dalam pikiranku. Sampai-sampai aku tak sadar dengan apa yang sedang kulakukan saat ini−bersandar pada sebuah dinding di sebelah kiri mading asrama perempuan.
            “Ah, nggak kenapa-kenapa, kok, Sill,” jawabku. “Cuman agak nggak enak badan aja. Kekurung di ruang labkom selama berjam-jam, bikin tubuhku agak meriang.”
            Ya, aku berdusta.
            “Oh, cepet istirahat aja kalau gitu,” sarannya.
            “Iya, thanks.”
            Dan ia berlalu.

            Aku melanjutkan langkahku menuju kamar, yang kebetulan jendelanya berbatasan langsung dengan dunia luar. Kusibakkan sedikit gorden yang menutupinya. Mengintip dari baliknya. Ketika itu, tak sengaja kulihat ia sedang berdiri sendiri di halaman asrama. Matanya jatuh pada arah asrama putri.
            Rasanya ingin sekali aku berlari ke arahnya, menarik lengannya, dan segera membawanya pergi ke suatu tempat dan mengatakan bahwa ‘mungkin’ aku mencintainya.
            Tapi itu hanyalah tinggal angan semata. Tak mungkin kukatakan hal seperti itu padanya. Tidak.
            Kutundukkan kepalaku sejenak, menahan air mata agar tak jatuh. Namun ketika kudongakkan kembali kepalaku, untuk melihat ke arahnya, sesuatu yang tak terduga terjadi.
            Sosok berkemeja putih berdasi itu menjatuhkan pandangannya ke arah tempatku berdiri. Ia menatapku─menatap kedua bola mataku.
            Ia tahu aku di sini.
            Ia tahu aku sedang memandangnya.
            Ia tahu.
            Dan ia melemparkan sebuah senyum yang belum pernah kutemui sebelumnya di dunia nyata.
            Begitu manis. Begitu keren. Begitu nyata.
            Dan sesekon kemudian, ia berpaling muka, dan melangkah memunggungiku.

            Sesuatu dalam hatiku pun akhirya bicara.
            Dia tahu perasaanku, dan aku tahu perasaannya.
            Meskipun tanpa kata-kata.
            Karena …
            Terkadang, cinta itu tak perlu kata-kata.
            Tak perlu.


-THE END-

Finished on Tuesday, February 17, 2015
09.53 WIB
-At LABKOM-