“CINTA TANPA KATA”
By: Shinta Fury Afrilia
***
Terkadang, cinta itu tak perlu kata-kata.
Tak perlu.
***
Hidup dengan dililit peraturan,
terkadang membuat sulit untuk bergerak. Meskipun sebenarnya, hal itu adalah
untuk kebaikan semuanya. Tapi tahulah, gimana anak sekarang? Semakin dikekang,
semakin pandai mereka mencari celah untuk melanggar kekangan. Semakin dikekang,
semakin berontak. Semakin dikekang, sekali waktu dilepas, akan liar bak kuda
berang.
Tak terkecuali dengan hidupku
sekarang.
Hidup dalam sebuah asrama dengan
bejibun peraturan. Sebenarnya, kalau mau dipikir dengan sungguh-sungguh,
peraturan itu tidak terlalu berat. Hanya saja, jika dipikir dengan pemandangan
seluas permukaan gelas, semuanya jelas terasa berat.
Kusebarkan pandanganku ke seluruh
penjuru kamar. Gelap, sunyi, tanpa suara. Hanya terdengan deru kipas angin di
langit-langit, detak jam di dinding, dan suara nyanyian kodok di luar sana,
pertanda mereka sedang bahagia karena sore hari telah menurunkan bertetes-tetes
mutiara langit dengan begitu derasnya.
Ufffhtt…
Kuhembuskan nafas panjang. Jam menunjukkan pukul
23.30 WIB, namun mataku tak kunjung redup juga. Sedikitpun tak ada rasa kantuk
yang menyerang. Padahal esok masih ada hari lagi yang harus dilalui.
Pikiranku menerawang jauh melewati atap ruangan. Tampak
sebuah wajah sedang menatapku dengan tajam. Sorot mata tanpa ekspresi, tanpa
senyum, tanpa berkata.
Sebuah wajah yang mampu menyita sebagian besar
pemikiranku. Sebuah wajah yang mampu menyita sebagian besar waktuku. Entah,
angin apa yang mampu membuatku terus terbayang oleh bayangnya. Padahal, jujur
saja, aku sama sekali tak mengenalnya. Sama sekali tak pernah mengenalnya. Tahu
saja tidak selama ini. Yang kuketahui hanyalah, dia cukup terkenal di kalangan
asrama putri. Tapi sedikitpun, aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Tapi,
begitu kulihat ia pertama kali tempo hari, sesuatu menggelitik jiwaku.
Aku berusaha untuk bersikap biasa, dan itulah yang
terjadi adanya. Memang, untuk beberapa hari di awal-awal, tak ada sesuatu yang
special yang terjadi, namun kelamaan, mata itu─sepasang mata itu─terus
mengawasiku. Entah aku yang terlalu ke-GR-an, atau memang faktanya seperti itu.
Yang jelas, itulah yang kurasakan ketika sepasang mata itu jatuh ke arahku.
Tiba-tiba penglihatanku menangkap sebuah gambaran di
angkasa. Beribu-ribu planet dan bintang melayang di udara malam yang dingin.
Berkedip-kedip manja ke arahku. Sesekon kemudian, sebuah tangan menepuk bahuku.
Sontak aku menoleh ke arah belakang. Betapa terkejutnya aku ketika kudapati
sebuah sosok yang sedari tadi mengganggu pikiranku, sedang berdiri tegak di
hadapanku sekarang.
Kali ini ia tersenyum. Sangat berbeda dengan
eksperesi yang selama ini kudapati di wajahnya. Namun dengan tanpa berkata, ia
langsung melangkah mundur, dan pergi, dengan sebuah senyum tergaris di
bibirnya.
Silau begitu terasa ketika neon-neon di seluruh
penjuru kamar kembali menyala. Mataku berkedip malas, sembari melihat jam yang
menempel di dinding. Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 pagi.
Euhmbfh …
Semuanya hanya mimpi. Penonton kecewa.
Kukira, aku benar-benar bertemu dengannya semalam.
Padahal semuanya terasa begitu real. Dia, di hadapanku.
Andai saja hal
itu bukanlah mimpi … -,-
***
Setelah berjam-jam dikurung di ruangan ber-AC dan
berkutat dengan komputer, akhirnya kami kembali disambut oleh udara luar.
Terasa kurang begitu enak di badan. Ah, rasanya aku ingin tidur saja, melepas
penat, agar kegiatan selanjutnya dapat kulalui dengan kembali fresh.
Aku
berjalan lunglai menuju asrama. Dengan mendekap sebuah business file dan sebuah buku catatan setebal 200 lembar. Pandanganku
mulai kabur karena rasa kantuk yang menyerang secara tiba-tiba. Dan tanpa
kusadari, ternyata seseorang sedang berlalu di hadapanku. Berjalan dengan begitu
terburu-buru, hingga secara tak sengaja, tabrakan itu terjadi.
BRAKK
!!
Segala
yang ada dalam dekapanku terjatuh seketika. Otomatis, aku merunduk dan segera
membereskan semuanya, tanpa mempedulikan siapa yang sedang berdiri di
hadapanku. Maklum, di tempat ini, antara laki-laki dan perempuan dibatasi dalam
pergaulannya. Jadi, jika dilihat dari busana yang dikenakannya, jelas ia bukan
perempuan.
“Maaf,”
ujarnya.
Aku
masih tetap merundukkan pandanganku. “Nggak apa-apa. Bukan salahnya kamu juga,
kok. Permisi.”
Setelah
beberapa langkah kaki kujlankan, kusempatkan untuk menoleh ke belakang sejenak.
Ingin mengetahui, kira-kira dengan siapa aku bicara.
Betapa
jantungku langsung berontak ketika kutahu sosok itu.
Zhafran.
Zhafran Dwi Zarkashiy.
Ya,
itu dia. Sosok yang selalu hadir dalam setiap mimpiku. Sosok yang selalu hadir
dalam anganku. Sosok yang selalu hadir dalam pikiranku.
Ia
hanya memandangku dari kejauhan. Kembali tanpa mengeluarkan ekspresi
sedikitpun.
Aku
segera berbalik dan kembali meneruskan langkahku menuju asrama dengan detak
jantung yang hampir seperti bom hendak meledak.
Sudah Zhafira . batinku. Cukup, jangan lagi memandangnya. Hal ini
bisa saja membunuhmu suatu saat nanti.
Salah
satu peraturan yang berada di asrama ini adalah ; Dilarang Pacaran.
Ya,
awalnya memang kurasa peraturan seperti itu sangat mudah sekali untukku, karena
memang tak ada yang bisa menarik perhatianku semenjak pertama kali OSPEK
terjadi. Jadi kurasa, hal ini takkan pernah berefek apapun dalam hidupku.
Namun
bagaimana jika seiring waktu berlalu, sesuatu hadir dalam kalbu dan membuatku
merasa simpatik? Atau malah, yang lebih parah, jatuh cinta?
Segala hal yang ada dalam asrama,
hidup dalam kerumunan para manusia dari berbagai daerah, dengan berbagai
karakter, dan dengan berbagai pemikiran yang berbeda, jelas sekali membuat
kesalahpahaman sering terjadi.
Jatuh
cinta bukan berarti ingin pacaran, kan?
Lagipula,
di tempat ini, tak mungkin bagi kami untuk bicara dari hati ke hati. Tapi,
memangnya siapa aku? Berani-beraninya mengajaknya bicara dari hati ke hati
seperti itu? -,-
“Kenapa,
Zhaf?”
Tiba-tiba
seseorang menepuk bahuku dari belakangku. Sontak aku terkejut karenanya.
Ah, rupanya aku terlalu sibuk dengan lamunanku. Aku
terlalu sibuk dengan apa yang sedang ada dalam pikiranku. Sampai-sampai aku tak
sadar dengan apa yang sedang kulakukan saat ini−bersandar pada sebuah dinding
di sebelah kiri mading asrama perempuan.
“Ah,
nggak kenapa-kenapa, kok, Sill,” jawabku. “Cuman agak nggak enak badan aja.
Kekurung di ruang labkom selama berjam-jam, bikin tubuhku agak meriang.”
Ya,
aku berdusta.
“Oh,
cepet istirahat aja kalau gitu,” sarannya.
“Iya,
thanks.”
Dan
ia berlalu.
Aku
melanjutkan langkahku menuju kamar, yang kebetulan jendelanya berbatasan
langsung dengan dunia luar. Kusibakkan sedikit gorden yang menutupinya.
Mengintip dari baliknya. Ketika itu, tak sengaja kulihat ia sedang berdiri
sendiri di halaman asrama. Matanya jatuh pada arah asrama putri.
Rasanya
ingin sekali aku berlari ke arahnya, menarik lengannya, dan segera membawanya
pergi ke suatu tempat dan mengatakan bahwa ‘mungkin’ aku mencintainya.
Tapi
itu hanyalah tinggal angan semata. Tak mungkin kukatakan hal seperti itu
padanya. Tidak.
Kutundukkan
kepalaku sejenak, menahan air mata agar tak jatuh. Namun ketika kudongakkan
kembali kepalaku, untuk melihat ke arahnya, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Sosok
berkemeja putih berdasi itu menjatuhkan pandangannya ke arah tempatku berdiri.
Ia menatapku─menatap kedua bola mataku.
Ia
tahu aku di sini.
Ia
tahu aku sedang memandangnya.
Ia
tahu.
Dan
ia melemparkan sebuah senyum yang belum pernah kutemui sebelumnya di dunia
nyata.
Begitu
manis. Begitu keren. Begitu nyata.
Dan
sesekon kemudian, ia berpaling muka, dan melangkah memunggungiku.
Sesuatu
dalam hatiku pun akhirya bicara.
Dia
tahu perasaanku, dan aku tahu perasaannya.
Meskipun
tanpa kata-kata.
Karena
…
Terkadang,
cinta itu tak perlu kata-kata.
Tak
perlu.
-THE END-
Finished on Tuesday, February 17, 2015
09.53 WIB
-At LABKOM-