Kamis, 01 Januari 2015

“NOTHING GOES FOREVAH !”


“NOTHING GOES FOREVAH !”

                                                           By : Shinta Fury Afrilia         

***

Cinta itu dapat diibaratkan seperti bulan. Terkadang dimulai dari bulan sabit yang indah hingga terbentuklah sebentuk bulan purnama yang bulat sempurna. Terkadang juga dimulai dari bulan yang bulat sempurna kemudian ia semakin mengecil dan akhirnya hilang, lenyap sama sekali. Dan faktanya, percaya atau tidak, cinta selalu berakhir dengan ditinggalkan. Entah itu ditinggalkan bersama seseorang yang lain, ataupun ditinggalkan ke alam berikutnya. Benar-benar tak ada yang abadi di dunia ini. Termasuk cinta.

*******

            “Sayang, beli es krim, yuk!” ajak Rama di tengah jalan-jalannya bersama Reisha, kekasihnya, siang itu.
            “Tumben amat,” komentar Reisha. “Ah, tapi nggak apalah! Ayo!”
           
Setahun benar-benar telah berlalu semenjak Rama dan Reisha resmi jadian. Selama itu pula hubungan mereka juga berjalan sangat baik-baik saja. Kalaupun ada masalah, itu hanya sekadar saling cemburu karena kini mereka harus menjalani LDR (Long Distance Relationship). Yaa, bahasa anak-anak zaman sekarang -,-
Rama yang sibuk dengan kuliahnya, Reisha yang sibuk dengan pekerjaannya. Mereka menjadi sangat jarang bertemu satu sama lain selepas masa SMA. Bahkan dengan sahabat-sahabatnya yang berjumlah tujuh orang itu juga. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Olla kerja, Lana kuliah, Lia kuliah, Emma di rumah, dan Yogi serius jadi abdi negara. Ya, aku jadi berfikir, masa-masa yang paling indah adalah masa SMA.
Namun semuanya tak lepas kontak begitu saja. Mereka tetap saling menghubungi, baik melalui SMS ataupun sosial media seperti Facebook.

“Ayo pulang,” ajak Rama. “Langitnya mendung banget.”
            “Yang mendung kan langitnya,kenapa aku harus bingung?” jawab Reisha asal sembari melahap es krim cokelat yang baru saja dibelinya. Tentu saja Reisha hanya bercanda, supaya keduanya bisa tetap tersenyum.
            “Ha?” celetuk Rama. “Kalau hujan?”
            “Tinggal berteduh, kan? Biar bisa lebih lama sama-sama, hahaha!”
            “Hmb, dasar! Nggak mau, ah! Kamu aja yang berteduh, aku pulang. Aku kan bawa jas hujan, tapi jas hujannya Cuma cukup buat satu orang. Weeek!” ledeknya.
            “Ih, kok jahat, sih?” Reisha merajuk.
            “Biarin,” goda Rama. “Yaudah, aku pulang dulu, ya! Dadah...!”
            Rama beranjak berdiri namun ... ya, seperti yang diharapkannya. Reisha menarik lengannya dan menuntutnya kembali duduk di sampingnya.
            “Hahahaha! Enggak, enggak... Bercanda doang kali... Mana mungkin aku meninggalkanmu sendirian di sini?” ucapnya pada akhirnya, yang mampu membuat Reisha kembali tersenyum dengan indahnya. Ya, dia sangat mencintai pemuda itu. Pemuda yang dulu menjadi sahabat saetianya.
            Reisha sama sekali tak pernah mengharapkan keadaan itu berakhir. Kemesraan itu, keharmonisan itu, rasa cinta itu ... Dia berharap semuanya berjalan tetap seperti itu. Selamanya.

*****

            “Bagaimana harimu?” tanya Reisha suatu kali di sela waktu istirahat bekerjanya menjadi seorang kasir di salah satu swalayan ternama. “Menyenangkan?”
            “Ah, begitu-begitu saja,” sahut suara di dalam ponsel itu. “Nggak ada yang spesial.”
            “Yang benar?” goda Reisha. Ia mulai merebahkan diri di atas spring bed bersprai pink di dalam kamar kostnya. Pandangannya tertuju pada asbes putih di langit-langit kama itu. Ia berharapmenemukan bayangan Rama di sana, tersenyum padanya. “Apa nggak ada lagi yang memburumu? Mengejar-ngejarmu gitu?”
            “Kamu ini ngomon apa, sih? Jangan bahas, ah!” tukasnya.
            “Hmb? Kenapa” Reisha melongo. Sesaat bayangan yang berhasil ia ciptakan di awang-awang lenyap begitu saja. Cling!
            Mungkin hampir semenit lamanya tak ada yang bersuara, baik Reisha ataupun Rama. Reisha akhirnya bangkit. Ia mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Firasatnya bilang, Rama akan mengatakan sesuatu yang sedikit kritis.
            “Sebenarnya ada yang terus mendekatiku,” ucapnya lamat-lamat. Reisha tetap tak bergeming. Ia berusaha mencerna kata demi kata yang terlontar dari bibir sang Rama. “Bahkan dia ingin sekali jadi pacarku.”
            Jleb!
            Bagaikan ada sebuah tombak yang menancap di ulu hatinya ketika berita itu sampai di telinganya. Namun ia tetap membisu. Ia menanti ada kata-kata lain yang mampu membalut lukanya.
            “Humbfh...” Suara itu menghembuskan nafas yang panjang dan berat. Seolah ada yang sedang menindihnya. Sebuah beban yang berat. “Ah, lebih baik bahas yang lainnya saja. Kepalaku pusing, karena tiba-tiba aku kepikiran tentang orangtuaku yang nggak merestui hubungan kita.”
            Memang, beberapa bulan lalu, Rama sudah menyampaikan hal ini pada Reisha, perihal tak direstui itu. Kepercayaan pada adat istiadat, katanya. Namun Rama bilang, “Jalani saja dulu. Siapa tahu, suatu saat kita bisa mengubah pandangan Mama. Sudah, jangan terlalu dihiraukan. Aku mencintaimu.”
            Semenjak saat itu, Rama dan Reisha tak pernah lagi mengungkit masalah itu. Semuanya berjalan seperti biasa. Namun hari itu, masalah tersebut kembali terungkit. Perasaan Reisha mulai kacau lagi Memikirkan semuanya.
            “Uh, sudah jam tiga,” sahut Rama berusaha mencairkan suasana. “Nggak mandi buat persiapan kerja lagi?”
            “Ah iya,” ucap Reisha lemah. “Aku ... aku mandi dulu, ya!”
            “Reisha,” panggil Rama cepat sebelum Reisha menutup teleponnya. “Nggak usah terlalu dipikirkan, ya, Sayang. Aku mencintaimu.”
            Suara itu ... telah kembali. Suara syahdu yang menenangkan itu... persis seperti ketika mereka sedan berada di antin sekolah setahun lalu. Ketika Arro, mantan kekasih Reisha menghampiri mereka yang hendak menyantap bakso favorit mereka. Arro dan Reisha bertengkar hebat saat itu, namun suara Rama yang meneduhkan itu meluluhkan hati Reisha. “Tenanglah, Sayang... Aku akan selalu berada di sisimu.”
            Senyum kecil Reisha terkembang di bibirnya. “Aku juga mencintaimu.”
            Reisha memutus sambungan telepon. Ia segera berlalu, mengambil handuk pink-putihnya dan memasuki kamar mandi. Namun, tak disangka-sangka, kalung berbandul nama “Reisha” dan “Rama” tiba-tiba tersangkut serat handuk. Ia berusaha melepaskannya. Namun ....
Cring ... cring ...cring ...
            Kalung beserta bandulnya itu terjatuh di lantai. Tercerai berai. Reisha kembali merasakan ada sentakan hebat di dadanya.
            Apa yang sedang terjadi? Mungkinkah ini firasat buruk? Pikirnya.

***

            Waktu berlalu. Reisha sudah mengundurkan diri dari tempatnya bekerja karena ada masalah dalam keluarganya. Ia kembali pulang ke kampung halaman pada awal Februari. Kali ini ia tak lagi dijemput Rama di terminal karena ia sedang sibuk dengan kuliahnya. Dan Reisha tahu, ia tak boleh mengganggunya.
            Semenjak Reisha kembali ke rumah, ia baru merasakan apa itu arti kesepian. Rama berangkat pagi – pagi sekali, dan pulang sore sekali. Pada awalnya, Rama masih sempat mengiriminya beberapa pesan singkat pada Reisha di sela pergantian jam kuliahnya. Namun seiring waktu berlalu, pesan singkat itu semakin jarang muncul di layar ponsel Reisha. Bahkan intensitas bertemu mereka juga semakin berkurang. Biasanya seminggu bisa dua kali, namun lama kelamaan berubah menjadi seminggu sekali, bahkan sampai tiga minggu sekali.
            Namun Reisha maklum akan hal ini. Ia sadar ia tak boleh egois. Ia telah mempercayakan semuanya pada Rama, dan ia selalu berusaha berpikiran positif pada kekasih yang sangat dicintainya itu. Bahkan ketika hari ulangtahunnya tiba, yaitu tanggal 10 April 2014 (sehari setelah dilaksanakannya pemilihan legislatif) ia hanya mendapatkan sebuah ucapan ‘selamat ulangtahun’ melalui pesan singkat tanpa ada embel-embel smiley seperti J, ^,^, ataupun :* seperti biasanya, Reisha tetap maklum. Ia sudah cukup menghargai usaha Rama untuk bangun tepat pukul 00.00 WIB. Atau setidaknya, mengirim pesan itu tepat pukul 00.00 WIB.
            Reisha memang sangat lelah waktu itu. Ia merasakan jari-jarinya harus segera direbonding karena telah menulis begitu banyak berkas ketika ia mengurusi PEMILU CALEG di daerahnya pada 9 April 2014. That’s why she didn’t wake up when the message were coming!

            Dua hari setelahnya, ia ingin sekali medapatkan inspirasi baru untuk karya menulisnya. Reisha memang sangat hobi menulis, apalagi ia mendapatkan informasi bahwa akan diadakan sebuah event menulis oleh salah satu penerbit indie di daerahnya. Ia bersiap menuju sebuah taman dengan harapan ia akan memperoleh gagasan itu.
            Reisha duduk di sebuah bangku taman bercat hijau mengilap di bawah sebuah pohon rindang sore ini. Mentari yang telah semakin condong ke ufuk barat meyinarkan cahaya dengan semburat jingganya. Sedikit menyilaukan untuk Reisha sebenarnya, tapi ia enggan meninggalkan tempatnya. Ia teringat dengan jelas, rekaman percakapannya semalam dengan Rama tentang masalah ‘tak direstui’ itu. Hal ini sangat mengganggu pikiran Reisha. Sangat mengusik hatinya. Mengganggu konsentrasinya. Suasana sore yang cerah itu seolah langsung berubah mendung bagi Reisha.
            “Ah, Tuhan... Kenapa begitu sulit?” batinnya. “Kami saling mencintai, tetapi kenapa Kau ujikan cobaan yang berat ini pada kami?”
            Tak terasa ada sebulir air mata yang jatuh di sudut mata Reisha. Namun Reisha sama sekali tak menepisnya. Pikirannya masih asyik dengan apa yang sedang dibayangkannya. Bahkan ia tak sadar kalau ada seorang gadis lain yang duduk di sampingnya. Memperhatikannya.
            “Sudahlah, Tuhan pasti akan memberimu seseorang yang lebih baik di luar sana dibandingkan dia,” sahut gadis itu, yang beberapa sekon lalu sempat membuat Reisha sedikit terlonjak kaget. “Kamu jangan sedih. Kamu gadis baik, pasti akan mendapatkan lelaki yang baik juga.”
            “Huft....” Reisha menghembuskan nafasnya seolah ia ingin sekali terbebas dari sesuatu yang membelenggunya.
            “Kita saling cinta, kok!” ucap Reisha. “Hanya saja ... orangtuanya nggak setuju sama hubungan kita... Kepercayaan pada adat istiadat masih dipegang teguh.”
            “Oh ya? Saling cinta? Kamu yakin bukan karena adanya orang ketiga?” ucapnya seolah mempertanyakan tentang pernyataan yang Reisha percayai.
Reisha memandang wajah gadis berambut panjang lurus itu sejenak, namun beberapa sekon kemudian ia kembali menatap langit yang sudah berubah warna menjadi jingga. Sebenarnya ada sesuatu yang mengusik hatinya tentang gadis asing yang ditemuinya sore ini.

"Insya Allah, bukan," ucap Reisha akhirnya. Ia memang sangat memercayai seluruh hal yang dikatakan kekasihnya. "Aku percaya sepenuhnya padanya."
"Terkadang orang baik itu ... saking baiknya, dia akan berbohong agar tidak menyakiti yang lain," celetuknya.
"Aku percaya kekasihku takkan melakukan hal sekeji itu. Berbohong padaku? Kurasa dia takkan pernah melakukannya," tukas Reisha.
"Kamu ... baik, ya?" komentar gadis itu lirih. "Kamu pasti sangat mencintainya."
"Sangat," jawab Reisha. "Aku sangat mencintainya. Itulah alasan kenapa aku sangat percaya padanya."
Kali ini giliran gadis itu yang menundukkan kepala. Murung. Sepertinya sesuatu tengah mengusik pikirannya. Mungkin dia juga ada masalah, pikir Reisha.
"Kamu ... ada masalah?" tanya Reisha akhirnya.
"Hmbfh ... Posisiku sedang sulit sekarang," celetuknya.
            "Mungkin kamu bisa cerita padaku," ujar Reisha sambil memandang gadis yang sama sekali tak dikenalnya itu.
"Aku sedang mencintai seseorang." Ia mulai bercerita. "Namun di luar sana, ada seorang gadis yang juga sangat mencintainya. Mungkin lebih besar daripada aku. Jika seandainya aku bisa mundur, pasti aku akan mundur. Tapi ... itu tidak mungkin."
"Kenapa?"
"Kita saling cinta," jawabnya. "Dan dia tak pernah mengizinkanku untuk mundur."
Reisha merasa ada sesuatu yang mengganggu hatinya kembali. Namun ia tak menyadari apa yang sebenarnya sedang mengganggu itu. Memang sempat terfikirkan olehnya, mungkinkah ia yang dimaksud gadis itu sangat mencintai pria yang ia cinta? Karena ia merasa ada kesinambungan antara ceritanya dan cerita gadis asing itu. Namun Reisha segera menepisnya. Bagaimana mungkin analisis itu muncul? Reisha kan tak mengenal gadis itu sama sekali.
Reisha segera kembali fokus dengan gadis itu. Pasti dia menderita, pikir Reisha.
Semua perasaan gadis sama. Ia dapat merasakan bagaimana menderitanya gadis itu sekarang, yang mencintai seseorang namun ada halangan untuk menyatukan cintanya. Sama seperti dirinya saat ini yang sangat ingin menyatukan cintanya namun terhalang oleh restu orang tua. Sakit? Ya pastilah!
"Ehmb, ini buku apa?" Gadis itu meraih buku bersampul pink cerah dengan gambar princess yang tergeletak di samping Reisha. Buku kumpulan cerpen Reisha. "Kamu suka nulis, ya?" lanjutnya dengan membolak-balikkan halaman demi halaman yang penuh dengan tulisan tangan Reisha.
"Iya ... begitulah. Buku itu selalu kubawa kemanapun aku pergi," ucapnya ramah. "Ah iya ... Kita belum kenalan, ya? Aku ...."
"Aduh, euhmb ...." Gadis itu cepat-cepat menyela ucapan Reisha dengan melirik arloji mungil di lengan kirinya. "Aku ... aku harus pergi. Aku ada janji sekarang. Aku duluan, ya! Daah!"
Sedetik kemudian, gadis asing itu pun hilang dari pandangan. Aneh, batin Reisha. Buru-buru sekali.
Reisha memungut buku yang digeletakkan gadis tadi sebelum pergi. Kemudian ia segera bangkit dari duduknya. Ia pikir, mungkin inspirasi yang ia harapkan akan datang lain waktu.
****

15 April 2014

Reisha merebahkan dirinya di antara bantal-bantal di atas tempat tidurnya. Pikirannya berkecamuk. Masih terngiang ucapan Rama beberapa saat lalu, sebelum ia mengakhiri pembicaraan melalui telepon.
"Maaf, Sha... Kita nggak bisa terus. Tapi kita tetap terus jadi sahabat, kok!" ucap suara yang berada nun jauh di sana.
Mutiara - mutiara bening yang telah berlinang sejak beberapa saat lalu kini telah benar-benar mengalir deras. Reisha tak hanya sekadar menangis. Ia histeris.
"Enggak. Aku enggak mau putus sama kamu! Kita masih terus, kan? Kita nggak putus, kan?" jerit Reisha di sela isak tangisnya. Untung saja Rama tak mengetahui mimik wajah Reisha yang sudah tak keruan itu. Kalau saja Rama tahu, ia pasti benar-benar tak akan tega!
Tangis Reisha semakin menjadi-jadi ketika tak kunjung ada jawaban dari Rama. Semenit berlalu, namun hanya isakan Reisha yang menguasai pembicaraan, dan tak lama kemudian sambungan telepon terputus.
Reisha makin histeris.
Drrrt ...
Sebuah pesan singkat muncul di layar ponsel.
Dari Rama.

'Kita nggak bisa lanjutkan pembicaraan ini kalau kamu masih menangis. Satu hal, kamu jangan egois. Posisiku masih sulit.'
-end-

"Sulit memilih antara aku dan Mama?" bisik Reisha. "Aku mengerti! Tapi tidak bisakah kita hadapi semua ini bersama-sama? Secara baik-baik? Apa yang ada dalam pikirannya?"
Semudah itukah ia menyerah?
Reisha bangkit dari berbaringnya. Ia menjulurkan lengannya ke arah meja yang terletak dekat ranjangnya. Ia meraih sebuah buku. Namun sesuatu meluncur begitu saja dari dalam buku itu. Secarik kertas.
Reisha memungutnya. Lipatan kertas tersebut mulai ia buka secara perlahan. Ternyata sebuah surat.
'Sungguh. Jika aku boleh memilih, aku tak akan memilih kisah cinta seperti ini. Kamu mungkin tak tahu bagaimana rasanya berada di posisiku, tapi percaya atau tidak, aku tahu perasaanmu. Aku telah mencoba untuk mundur, namun hatiku selalu saja kembali padanya. Selalu. Mungkin kamu berfikir bahwa aku hanya pura-pura bersikap baik di hadapanmu. Tapi itu tidak benar.
Setelah aku bertemu denganmu tempo hari di taman itu, aku kembali menjauhinya. Seluruh bentuk komunikasi, BBM, SMS, telepon, sama sekali tak kujawab. Hingga akhirnya kita bertemu dan dia menjelaskan semuanya padaku. Dan dia malah menanyakan keputusan padaku. Lalu aku bisa apa? Aku harus bagaimana? Aku sama sekali tak mampu menjawab sepatah kata pun. Aku tak tahu harus bagaimana. Semuanya terlalu sulit!
Sebelumnya, aku meminta maaf padamu. Semua ini memang salahku. Tapi bukan maksudku untuk melangkah sejauh ini. Aku telah berusaha berulang kali untuk menghentikan semuanya. Namun entah kenapa, aku selalu kembali padanya. Aku minta maaf. Aku memang salah. Aku sama sekali tak pernah ada secuil pun niat untuk berada di posisi seperti ini. Sekarang, aku telah menyerahkan semua keputusan padanya, karena ia pun tak mengizinkanku untuk menyudahi semua ini.
Dan aku hanya ingin meminta maaf padamu, secara pribadi, untuk caraku yang salah ini. Pertemuanku denganmu tempo hari, dan pertemuan kita hari ini yang memang kusengaja tak kutampakkan mukaku (aku sengaja menubrukmu agar aku bisa menyelipkan surat ini pada bukumu yang sempat terjatuh) bukan caraku untuk mencari muka di hadapanmu. Aku tulus ingin bisa baik-baik sama kamu.
Sekali lagi maafkan aku.
-Nisa- 

Fin. Surat yang memakan hampir dua halaman kertas binder itu telah selesai Reisha baca. Rampung!
Namun jantung Reisha berdegup dengan begitu kencangnya. Bukan degupan normal, mungkin kalau Reisha memiliki riwayat penyakit jantung, sudah dapat dipastikan, ia pasti sudah collapse mendapatkan kabar ini.
Tangannya gemetar. Matanya kembali memuntahkan mutiara surga dengan begitu derasnya. Pandangannya nanar. Sesaat ia tak tahu harus berkata apa. Sesaat ia tak tahu harus bersikap bagaimana. Sesaat ia tak yakin kalau jiwanya masih ada di dalam raganya.
"Pengkhianat," bisik Reisha geram. Air mata, terus saja bergulir di pipinya. Dia benar-benar terluka. Sangat terluka.
Reisha benar-benar tak habis pikir. Sebegitu teganyakah kekasih yang selalu ia banggakan di hadapan semua orang itu mengkhianatinya? Sebegitu teganyakah kekasih yang selalu ia agung-agungkan pada semua orang, bahkan keluarga besarnya, menghancurkan rasa percayanya? Sebegitu teganyakah?Padahal Reisha sangat setia ... Ia menolak seluruh kata cinta yang datang padanya ketika ia berada di perantauan. Semua itu, untuk siapa? Untuk Rama! Karena gadis itu benar-benar mengasihinya! Sangat menyayanginya! Sangat mencintainya!
Bahkan ia benar-benar telah menganggap bahwa sosok Rama adalah salah satu malaikat yang diturunkan Tuhan padanya. Tapi apa?
Reisha meraih ponselnya. Ia ketik semua uneg-unegnya. Ia luapkan semua rasa kecewanya. Ia tumpahkan semua amarahnya. Dan ia segera mencari nama Rama dalam kontak. Ketika ia hendak benar-benar memencet tombol 'Send', kelincahan ibu jarinya terhenti.
"Tidak," tukas Reisha cepat.
Ia berusaha menepis semua pikiran negatifnya. Ia tidak ingin percaya dengan semua isi surat itu.
"Surat itu pasti bohong. Dia pasti hanya ingin menghancurkan hubunganku. Dia pasti hanya ingin mengadu domba antara aku dan Rama, supaya lebih cepat berpisah. Dia pernah lancang mengirimiku pesan singkat beberapa bulan lalu melalui ponsel Rama. Ia bilang, 'Jangan panggil Rama dengan sapaan sayang lagi! Dia telah ada yang memiliki!' Ah, aku tahu, dia sudah menggilai Rama sejak dulu. Rama pernah menceritakannya padaku. Dan aku tahu, Rama tidak mencintainya. Benar. Ini pasti hanya akal-akalan dia saja!"
Reisha berusaha menenangkan pikirannya dengan opininya sendiri. Namun hal ini masih terlalu mengusik hatinya.
Ia harus membicarakan hal ini dengan Rama baik-baik. Harus!
Reisha keluar dari ketikan SMSnya yang secara otomatis akan menyimpan ketikan itu sebagai 'draft'. Ia kembali mengetik SMS baru, untuk Rama.'
Besok. Taman. Jam sepuluh. Temui aku.'
Setelah ada laporan terkirim, Reisha kembali merebahkan tubuhnya. Pandangannya menerawang. Dari sudut matanya kembali menitikkan air mata.'
Tuhan! Aku benar-benar tak tahu harus percaya pada siapa sekarang!'

***

"Apakah semua isi dalam surat itu benar adanya?" tanya Reisha. Ia telah menyiapkan mentalnya semalam suntuk. Ia harus siap dengan jawaban apa yang akan diutarakan Rama padanya. Sebenarnya, hatinya perih, tercabik-cabik. Ia berharap kata-kata yang akan dilontarkannya mampu mengobati luka itu. Bukan malah memperparahnya.
"Rama," panggilnya lirih. "Jawab aku."
Suasana pagi di taman itu masih sepi. Masih terdengar kicau burung di pucuk pepohonan. Semilir angin pagi masih terasa, namun sinar matahari sudah mulai memperlihatkan kekuatan sinarnya yang panas.
"Mungkin bisa dikatakan itu ... itu benar," jawab Rama.

JDAR !

Reisha shock. Benar-benar shock atas jawaban Rama. Jadi ... itu benar? Hatinya makin perih, serasa ada cakar yang mengoyaknya hingga terbentuk luka yang menganga begitu lebar.
Namun ia harus kuat. Ia tak boleh berdiam diri. Bukankah ia sudah mempersiapkan mentalnya?
"Kenapa?" bisik Reisha lemah. Ia berusaha menata hatinya sebaik mungkin. "Kamu ... udah nggak sayang sama aku?"
"Aku sayang kalian berdua," jawab Rama cepat. "Aku ingin memiliki kalian berdua."
See? Siapa yang egois sekarang? batin Reisha jengkel. Ia marah. Marah karena hatinya dipermainkan. Marah karena ia telah dibohongi. Marah karena telah dikecewakan. Marah karena ia ... karena ia terlalu percaya pada orang yang sangat dicintainya! Ia marah kepada dirinya sendiri yang terlalu naif!
"Awalnya semua berjalan biasa saja, namun kelamaan ... semuanya berubah menjadi begitu sulit," lanjutnya.
"Kenapa? Kenapa alasan 'tak direstui' menjadi alasan utama yang kamu katakan padaku?" Suara Reisha terdengar getir. Suaranya bergetar. Dia ingin menangis, tapi sosok Reisha, selalu tak ingin mengeluarkan air mata di hadapan orang yang dikasihinya. "Padahal kamu mencintai gadis lain ... di belakangku ...."
Memang, sekali waktu ia pernah menangis di hadapan Rama. Namun kejadian itu sudah sangat lama. Tepatnya ketika Rama baru memasuki dunia perkuliahannya, dan Reisha mendapati seorang gadis mengiriminya sebuah pesan singkat. Waktu itu Rama hanya sekadar menggoda Reisha, namun Reisha benar-benar menangis waktu itu. Dia sangat cemburu. Tapi beberapa sekon kemudian Rama memeluk dan mencium keningnya dengan berkata, "Aku hanya bercanda. Sudah, diam... Jangan menangis, jelek tahu! Hahaha ... Aku hanya mencintaimu, Sayang ... Kenapa kamu begitu percaya dengan leluconku, sih?"
"Aku takut kehilanganmu...." Raisha merajuk dalam pelukan hangat Rama.
Ah! Reisha benar-benar berharap hal itu yang akan diucapkan Rama! Reisha berharap hal ini benar-benar tak terjadi. Ini ... terlalu berat baginya!
"Itu bukan alasan utama," sangkal Rama. "Faktanya memang seperti itu. Karena hal itu, aku jadi berpikir dua kali untuk terus melanjutkan hubungan ini denganmu. Karena itulah, akhirnya aku bisa suka sama gadis lain ... Lagipula, jika kita meneruskannya, dan misalkan kita telah sampai pada hari yang ditentukan, dan ternyata orangtuaku menentang hubungan ini, apakah kamu tak akan merasa lebih sakit dan menderita? Aku hanya tak ingin kamu sakit lebih dalam lagi ...."
Reisha sama sekali tak memerhatikan raut muka seseorang yang sedang menjelaskan alasannya itu. Ia sibuk menatap rumput hijau di bawah kakinya. Ia berusaha menabahkan hati.
"Kenapa kamu nggak pernah cerita sebelumnya?" Reisha terus saja menjejali Rama dengan pertanyaan.
Hasrat keponya justru akan sangat bertambah tinggi bila jawaban yang ia terima kurang memuaskan baginya. Hah! Ia tak habis pikir, seseorang yang namanya telah terukir di lubuk hatinya, berbuat seperti ini padanya.
"Kenapa nggak pernah menceritakan sedikit pun tentang kedekatanmu dengan gadis itu?"
"Karena aku takut menyakitimu."
'Terkadang cowok baik itu ... saking baiknya, dia akan berbohong agar tidak menyakiti yang lain.'
Tiba-tiba perkataan gadis asing bernama Nisa yang Reisha temui tempo hari merasuki pikirannya kembali.
Uh! Justru hal seperti ini yang sangat menyakitiku! jerit Reisha dalam hati. Rama jahat. Benar-benar jahat!
"Aku harus pergi," ucap Rama kemudian. "Hari ini aku masih ada kuliah."
Ia beranjak dari duduknya dan dengan sangat buru-buru meninggalkan tempat ini. Ah, bukan. Bukan meninggalkan tempat ini, melainkan ... meninggalkan Reisha.
"Rama," panggil Reisha cepat sebelum ia benar-benar pergi. "Kalian ... Kalian sudah jadian?"
Rama terdiam. Ia menatap Reisha tajam. Reisha pun menatapnya dengan penuh harap. Berharap bahwa ia akan mengatakan 'tidak', atau mungkin separah-parahnya ... 'belum'.
"Aku nggak perlu menjawab pertanyaanmu," jawabnya kemudian. "Pernyataanku tadi kukira sudah bisa menjawabnya. Jadi, silahkan disimpulkan sendiri."
Sudah. Rama sudah jadian dengan gadis itu!
Kenapa? Kenapa kamu tega, Rama!? Mana kata-kata manismu dulu? Di mana letak kesetiaanmu? Di mana bukti kata-katamu untuk tidak mengulangi kesalahanmu di masa lalu itu? Semua hanya isapan jempol belaka? Iya???Mereka sudah sedekat itu. Sudah sangat sedekat itu. Sejak kapan kalian dekat, ha? Sejak kapan? Kenapa hal ini sama sekali tak kuketahui? Karena aku terlalu percaya? Karena aku terlalu naif? Karena aku terlalu cinta? 
Malaikatku benar-benar telah berubah menjadi Iblis! batin Reisha.

***

"Sudahlah, jangan menangis, Reisha ... Air matamu terlalu berharga untuk pria macam dia," hibur Olla dari dalam ponsel.
Ya, Olla yang meneleponnya setelah Reisha memberi kabar bahwa ia 'single' sekarang.
"Sudahlah, Reisha... Mungkin dia bukan jodohmu... Laki-laki di dunia ini nggak cuma satu. Masih banyak stock yang lebih baik, Reisha..."
"Aku udah nggak nangis, kok, La," ucap Reisha murung. Dia memang sudah tidak menangis, tapi ia masih sedih. "Kamu tahu? Aku sudah menghabiskan satu pack tissue isi 50 sheets dalam semalam. Jadi, mungkin air mataku sudah terkuras habis sekarang."
"Busseet, itu nangis apa mandi air mata?" responnya. "Udah, udah ... Pasti Tuhan telah mempersiapkan seorang Pangeran yang sempurna dengan menunggang seekor kuda putih untukmu kelak. Percayalah! Lagipula ... seharusnya bukan kamu yang sedih, Sha. Melainkan dia. Kamu hanya kehilangan orang yang tak mencintai kamu, sedangkan dia? Justru dia yang telah kehilangan orang yang sangat mencintainya."
Reisha memutus sambungan telepon. Entah, mungkin karena ia tak ingin ada seseorang yang menilai buruk tentang Rama, atau ia tak ingin membicarakan Rama. Yang jelas, dia hanya ingin sendiri sekarang.Reisha melihat layar ponselnya dengan malas. Ada beberapa pesan yang menunggu untuk dibaca.
Yang pertama dari Lia. 
'Parah! Udah, kamu yang sabar ya, Sha! Di balik semua ini pasti ada hikmah. Percaya sama aku. Semangat Sha!'
Yang kedua dari Emma. 
'Ya, sama. Kita single sekarang. Ayo sama-sama berjuang move on! Ganbatte!'
Yang ketiga, Herin, sahabat Reisha ketika sedang berada di daerah rantauan.
'OMG! Kamu yang sabar ya, Sha! Nakal banget sih! Udah jelas di depannya ada gadis cantik, baik, dan setia kayak kamu, eh malah ditinggalin. Aku saksinya, kamu dulu yang berusaha setia buat dia meskipun di sekelilingmu banyak pria yang menawarkan cintanya padamu. Tapi kamu tetep pertahankan dia. Udah, ya ... cup cup cup ... Jangan menangis, nanti cantikmu luntur, loh! *^_^*'

Pesan singkat yang tak singkat, batin Reisha.
Tapi memang seperti itulah sifat sahabatnya yang satu itu. Selalu serius menanggapi semua yang dikatakan Reisha.
Yang ketiga dari Faris, sahabat Reisha yang sedang bekerja di pulau dewata. Sahabat Reisha semenjak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.

‘Sha... Jangan sedih, dong! Aku akhir April pulang, aku bakal ajak kamu jalan-jalan, deh! Kemanapun kamu mau, ayo. Yang penting, kamu jangan sedih lagi... Okay!'

Di saat-saat seperti inilah memang para sahabat yang mampu membangkitkan kembali semangat hidup Reisha. Sang sahabat dan keluarga. Hanya mereka. Persetan dengan cinta. Cinta hanya bisa menyakitkan perasaan. Orang yang paling baik sekali pun, bisa jadi sangat jahat dalam urusan cinta. Uhf !
Reisha melemparkan ponselnya ke ujung tempat tidur dan segera bangkit ke luar kamar. Ia ingin mencari udara segar.
***

Reisha kembali mengunjungi taman. Ia duduk di tempat biasanya dan merenungkan semuanya. Semua kisah cinta ini. Kenapa harus melanda hidupnya?
Tiba-tiba seseorang yang sedang mengayuh sepeda federal berhenti tepat di hadapan Reisha. Kejadian itu berhasil membangunkan Reisha dari lamunannya. Ia melihat sesosok pria berkaos merah dengan bawahan celana cokelat selutut itu sedang memerhatikannya.
Itu Arro. Seseorang yang pernah mengisi relung hatinya setahun yang lalu, sebelum ia jadian dengan Rama.
Sekejap kemudian, Arro sudah duduk berdampingan dengan Reisha di bangku taman itu.
"Kamu kenapa, Sha?" tanyanya. "Apa yang kamu lakukan sendirian di sini? Nggak takut diculik?"
"Hmb... Kalaupun aku diculik, juga nggak bakal ada yang mencari," ucap Reisha asal.
"Ah, malah ngelantur ngomongnya," komentarnya. "Kamu ada masalah? Kamu bisa cerita sama aku."
"Hmb, sakit, Arro," ucap Reisha. Mungkin ia memang sedang butuh teman bicara sekarang agar sedikit mengurangi beban di hatinya. Ia menceritakan segalanya pada Arro hingga detail terkecilnya. Arro pun mendengarkannya dengan saksama.
"Ya sudahlah," komentarnya ketika Reisha menyudahi curhatnya. "Yang lalu biarkanlah berlalu. Tuhan sedang mengujimu. Ia nggak akan memberi ujian melebihi kemampuan hamba-Nya. Itu berarti kalau Ia memberimu ujian seperti ini, Ia percaya kamu bisa melaluinya. Lagipula usia kita masih muda. Masih delapan belas ...."
"Sembilan belas," ralat Reisha. "Lebih beberapa hari."
"Baiklah, sembilan belas lebih beberapa hari. Jalan kita maaasih panjang. Tujuan hidup kita maaasih jauh. Fokuskan saja dulu pikiranmu pada aktivitasmu. Masalah jodoh, itu sudah ada yang mengatur. Jadi, nggak perlu bingung cari jodohlah! Masih muda juga, kan? Nggak pernah terlintas di pikiranmu untuk mengakhiri hidup, kan?"
"Andai saja bunuh diri itu nggak dosa dan langsung masuk sorga, aku pasti sudah melakukannya," ujar Reisha. "Sayangnya, itu semua nggak benar, jadi aku mengurungkannya."
"Jangan buru-buru mati, lihat dulu keadaanmu. Sudah cukup bekal, belum?" ucapnya. "Dengar. Kalau kamu mati, mereka hanya akan menangisimu sesaat saja. Setelah itu, seiring berlalunya waktu, mereka pasti akan melupakanmu. Dan penghormatan terakhir yang akan kamu dapatkan hanya ketika saat-saat penguburanmu. Lagipula, apa kamu nggak memikirkan ibu dan adikmu? Hanya kamu yang mereka punya, kalau kamu tidak ada ...."
"Aku kan sudah bilang aku mengurungkannya," potong Reisha. "Jadi aku nggak mungkin melakukan hal bodoh itu."
"Benar juga," ucap Arro. "Hahaha...."
"Kamu sudah menghubungi para sahabatmu?" lanjutnya.
"Sudah," jawab Reisha. "Semuanya sudah. Bahkan sahabatku yang lagi di luar Jawa juga sudah kuhubungi. Hmb, aku hanya ingin bersahabat sekarang. Bersahabat dengan semuanya. Cinta itu bullshit! Nggak pernah ada yang abadi, kecuali nanti jika kita semua sudah berada di sorga. Lagipula ... aku masih trauma. Cinta itu menyakitkan."
"Setuju," sahut Arro.
Reisha memandang pria yang sedang duduk di sampingnya itu dengan saksama. Tiba-tiba semua hal yang berhubungan dengan Arro di masa lalu berkelebat di benaknya. Momen ketika mereka bersama ... ketika mereka sedang dirundung masalah ... bahkan ketika mereka bertengkar hebat satu setengah tahun lalu yang mengakibatkan berakhirnya jalinan kasih mereka waktu itu.
Pria yang dulu pernah sangat dibencinya, pria yang dulu pernah menorehkan luka di hatinya, pria yang dulu pernah membuat darahnya mendidih, kini sedang duduk santai di sampingnya. Mendengar semua keluh kesahnya. Memberinya beberapa wejangan.Luka yang dulu ada itu serasa sirna. Bahkan Reisha sendiri lupa bagaimana rasa sakitnya dulu itu. Ia telah melupakannya. Dan kini ia kembali menerima kehadiran Arro di hidupnya. Sebagai sosok kakak dan sahabat yang baik. Ya, mereka bersahabat baik sekarang.
"Semuanya itu nggak ada yang abadi. Nothing goes forever. Semuanya hanya titipan. Kalau diambil, ya ikhlaskan saja. Tuhan pasti akan menggantinya dengan yang lebih baik," lanjutnya.
"Lalu kamu sekarang?" sahut Reisha. "Sedang menjalin hubungan dengan siapa?"
"Aku?" ulangnya. "Ehm ... Mungkin jodohku sedang ada di Inggris atau Amerika, sedang menuntut ilmu, atau bahkan sedang menjadi aktris besar sekarang. Siapa tahu? Tuhan bakal mempertemukan kita secara tidak sengaja ... Siapa tahu, nanti jodohku adalah Selena Gomez dan jodohmu adalah Justin Bieber? Hahahaha ...."Reisha tersenyum kecil dibuatnya."Percaya saja, dunia itu nggak selebar daun kelor, kok! Seiring berjalannya waktu, kamu pasti bisa melupakan luka ini. Lagipula, karma itu ada. Jadi jangan terpuruk seperti ini terus. Suatu saat, Tuhan pasti membalas apa yang telah mereka lakukan padamu. Karena... ya ... karena aku sendiri sudah pernah mengalaminya. Karma darimu," ucap Arro. "Ayolah, sekarang tersenyum! Tunjukkan pada dunia kalau Reisha itu gadis tegar dan kuat! Ayo!"
"Arro," panggil Reisha lirih. "Terima kasih."
"Sudah tugasku," jawabnya bangga.
"Ah, iya, boleh minta satu hal, nggak?"
"Apa?"
"Ehmb, aku ... jangan Justin Bieber, deh!"
Arro tampak mengerutkan kening dan menaikkan sebelah alisnya mendengar Reisha yang mulai mengoceh seperti biasanya.
"Terlalu kejauhan ... Bagaimana kalau Aliando Syarief, Rizky Nazar, atau Al Ghazali mungkin???"
"Yah, itu mah pantesnya jadi adik kamu, Sha," komentarnya.
"Ehmb.... Kevin Julio aja gimana?"
"Ehmb...." Dia menggeleng. "Gimana kalau ... Ki Joko Bodo?"
Hah???!!!
"Arrooo!"
Akhirnya setelah beberapa hari Reisha menyembunyikan senyum manisnya, kini ia kembali memperlihatkannya pada dunia. Dan ia merasa dirinya jauh lebih baik. Ia juga bertekad tidak akan lagi mengganggu hubungan antara Rama dan Nisa. Biarkan mereka bahagia dengan kehidupan baru mereka, dan Reisha bahagia dengan kehidupan barunya. Bersama para sahabat dan keluarga pastinya.Reisha dan Arro kemudian melanjutkan obrolan seru mereka hingga matahari benar-benar tenggelam di ufuk barat. Hari ini memang berakhir. Namun Reisha akan selalu menghadirkan semangatnya dan tak akan pernah membiarkan semangat itu berakhir.
Hari baru. Semangat baru. Motto Spongebob si spons kuning itu rupanya kini juga telah menjadi motto hidup Reisha.
***

Sahabat jadi cinta itu mudah, tetapi cinta jadi sahabat? Kurasa itu perlu waktu. Harus menunggu hingga lukanya kering terlebih dahulu, baru bisa terlaksana. Atau sampai kita tak lagi merasakan bagaimana sakitnya ketika kita mengingatnya. Lagipula, cinta itu tidak akan selalu bisa bertahan selamanya. Selalu akan berakhir, entah ditinggal bersama seseorang yang lain ataupun ditinggal mati. Karena semua hal di dunia ini tak ada yang berjalan selamanya. Nothing goes forevah and happily ever after only happens in fairytale.

Finished on Sunday, April 20th, 2014
at livingroom, 19.10 WIB.
Shinta Fury Afrilia